Jumat, 03 Juni 2011

Perlindungan Konsumen

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Penataan dan pembentukan (kembali) lembaga-lembaga dan pranata-pranata hukum secara komprehensif dan integral, yang mampu menciptakan keseimbangan dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha.
Hanya saja bagaimanapun perlulah disadari, bahwa upaya yang demikian belumlah tentu akan memberikan hasil yang optimal, dan bukanlah merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik, di dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat konsumen, karena bagaimana pun cara-cara yang demikian rentan ini, secara potensial dapat saja berbalik justru menjadi penghambat untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terutama disebabkan, karena:
1. Tingkat keintiman dan ketergantungan diantara pelaku usaha lebih tinggi dibandingkan antara pelaku usaha dengan konsumen. Dengan adanya keadaan tersebut, maka meskipun terdapat pengaturan-pengaturan yang dimaksudkan dapat mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, maka kehendak untuk memperhatikan kepentingan sesama pelaku usaha, akan lebih besar dibandingkan dengan kehendak untuk melindungi kepentingan konsumen. Dengan demikian, orientasi dari segala sikap dan perilaku dari pelaku usaha tersebut lebih banyak ditujukan pada kepentingan sesama pelaku usaha, daripada kepentingan konsumen. Sebuah strategi yang melingkar seperti ini, tentunya akan menyebabkan bahwa upaya-upaya untuk melindungi konsumen, hanyalah akan selalu dipandang sekedar sebagai ekses saja, dari adanya persaingan usaha yang sehat.

2. Selama ini pelaku usaha di Indonesia lebih banyak menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip dalam logika yang tumbuh dan berkembang di dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal, sehingga tidaklah mudah untuk mengharapkan munculnya kesadaran dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian secara proposional terhadap kepentingan-kepentingan konsumen. Ungkapan bahwa konsumen adalah raja, hanyalah merupakan mitos untuk meninabobokan konsumen, agar selalu merasa menjadi pihak yang dipehatikan, sehingga konsumen kehilangan sikap kritisnya dan pelaku usaha dapat membentuk dan mengarahkan konsumen sesuai dengan apa yang diharapkan dan dikehendaki secara sepihak oleh pelaku usaha.
3. Upaya untuk melindungan konsumen melalui pengaturan perilaku pelaku usaha, memperlihatkan sebuah logika, bahwa keadaan dari pihak yang lemah dapat ditolong oleh pihak yang secara ekonomis kuat. Dengan demikian undang-undang ini sepertinya hendak membangun sebuah model interkasi antara pelaku usaha dan konsumen yang mendasarkan pada moralitas dan etika “belas kasihan”. Karena dengan menggantungkan masalah perlindungan konsumen melalui penciptaan iklim usaha yang sehat, tersirat suatu pandangan, bahwa konsumen adalah pihak yang tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri dan tetap didudukkan sebagai pihak ketiga di dalam berbagai kegiatan ekonomi, sehingga nasibnya digantungkan pada perilaku pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar